just a box

Thursday, January 24, 2008

check this out!!

hehehe...finally si empeka 'keparat' kualitatif kelar jugak. yaa.. meski kyakna g maksimal en klo aku punya waktu (juga kmauan yg cukup) pasti bakal bisa lbih baek lag. percaya. coba baca de klo lagi kurang kerjaan :)

Representasi Simbol Budaya
dalam Sinetron Suami-Suami Takut Istri

A. Latar Belakang
Sinetron Indonesia seolah hanya ‘jalan di tempat’. Sebagai satu tayangan yang di-anak emas-kan televisi dengan pemilihan waktu tayang di jam-jam prime time, nyatanya tak ada yang benar-benar baru di jagad persinetronan kita. Seolah terjebak di satu lubang hitam, para pekerja kreatif sinetron hanya berkutat di tema yang melulu sama. Jika tidak tentang perebutan hati (baca: cinta) tentu perebutan kekayaan. Setting yang dipilih pun melulu gemerlap dunia metropolis Jakarta. Toh mengusung tema ‘hambar’ semacam inipun penonton masih tetap setia, demikian dalih yang dilontarkan.
Kebetulan kebanyakan sinetron junk itu diproduksi oleh keluarga Punjabi. Kalau dari namanya, pasti tidak salah, mereka dari India. Makanya, semua sinetron junk itu pasti mirip film India. Lihat saja action artisnya. Kalau “terheran-heran”, “sinis”, “marah”, dan lain-lain, pasti diperlihatkan raut wajah artisnya dengan sangat dilebih-lebihkan. Belum lagi kalau diambil gambarnya jauh-dekat-jauh. Bukannya seru. Tapi lucu. Bukan hanya itu, kebanyakan yang dipertontonkan kehidupan kelas atas. Kadang- ada juga cerita masyarakat kelas bawah, tapi tetap saja mengikutsertakan kaum kelas atas. Pantas saja dikatakan kalau Punjabi yang dulu penjual lingerie itu disebut-sebut sebagai ‘Penjual Mimpi’. Yang dijual hanya mimpi-mimpi. Pemainnya pun pasti dipilih yang ganteng dan cantik. Itu sudah pasti, karena diakui sendiri oleh Punjabi. Walapun artisnya berakting sebagai pemulung, dia harus tampan atau cantik.
Satu yang mungkin luput dari perhatian klan Punjabi ini adalah keberagaman budaya di Indonesia. Seolah ia (lewat sinetron-sinetronnya) hanya tahu Jakarta saja. Maka tak perlu heran jika sinetron buatannya hanya berkutat dengan setting yang melulu Jakarta atau paling jauh sampai Bandung. Setting kota Jakarta semacam itu tentu mengimbas pada pengekalan satu macam budaya saja. Budaya Betawi lengkap dengan logat bicara ‘lu-gue’ bernada tinggi yang mungkin hanya konstruksi berlebihan dari budaya aslinya itu menjangkiti sinetron-sinetron kita seolah mengukuhkan kesan Jakartasentris.
Muncul mengisi kekosongan sinetron kaya budaya, Bajaj Bajuri menawarkan konsep komedi situasi dengan setting pertemuan budaya Betawi dan budaya Jawa (baca: Jawa Tengah). Meski di awal hanya ditanggapi dingin, ternyata justru Bajaj Bajuri mampu menghadirkan satu nuansa yang berbeda dengan ramuan ajaib bernama kesederhanaan. Bajaj Bajuri hadir begitu dekat dengan masyarakat kebanyakan. Keseharian yang dihadirkan di sana sudah sangat diakrabi khalayak. Meski hadir dengan format yang membumi, hingga demikian merasuk ke alam pikiran khalayak, toh pada akhirnya bernasib sama saja. Entah masalah apa yang melatarbelakanginya, kini Bajaj Bajuri sudah tak terdengar lagi gaungnya.
Namun tampaknya Trans TV belum kapok menghadirkan sinetron-sinetron ‘baru’. Baru-baru ini hadir sinetron bergenre komedi situasi berjudul Suami-Suami Takut Istri. Seolah mengobati kerinduan khalayak akan sinetron yang merakyat, Suami-Suami Takut Istri juga mengambil setting perbauran bermacam budaya.
Sinetron komedi situasi ini digarap oleh Rumah Produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Program ini tayang setiap Senin hingga Jumat, pukul 18.00 WIB, sejak 15 Oktober 2007. Komedi situasi yang memberikan hiburan yang bermutu dan merakyat ini diperankan oleh Otis Pamutih sebagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah sebagai Sarmila (Bu RT), Marissa sebagai Sarmilila, Irvan Penyok sebagai Karyo, Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djaitov sebagai Tigor, Asri Pramawati sebagai Welas, Ramdan Setia sebagai Faisal, Melvy Noviza sebagai Deswita, Epy Kusnandar sebagai Mang Dadang, Desi Novitasari sebagai Pretty, Ady Irwandi sebagai Garry (TransTV.co.id, 2007)
Suami-suami Takut Istri mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan ‘senasib sepenanggungan’ ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.
Yang menarik di sinetron komedi situasi ini adalah alur dan setting cerita yang dengan apik mempersatukan sejumlah budaya dalam satu cluster pemukiman. Di sanalah bermunculan simbol-simbol beragam budaya.
Lika-liku kehidupan masyarakat Indonesia yang memang sangat menarik lengkap dengan beragam budayanya itu diangkat dalam komedi situasi Suami-suami takut Istri. Sinetron ini mengangkat kehidupan keseharian masyarakat yang bergumul dalam hiruk-pikuk kehidupan cluster. Tipologi cluster yang seringkali hanya terdiri dari beberapa rumah benar-benar dimaksimalkan sebagai bingkai dari realitas plural masyarakat Indonesia.
Di cluster tersebut ada 4 keluarga, pertama, Pak RT yang hidup dengan Istri dan satu orang anaknya bernama Lila, keluarga ini sebagai representasi keluarga Betawi. Kedua, Tigor dan Welas. Tigor seorang Batak sedangkan Welas sedikit Jawa. Ketiga, Karyo dan Sella. Keempat, Faisal dan Deswita. Keluarga ini paling jelas deskripsinya yaitu sebagai orang Padang lengkap dengan asosiasinya, irit (kalau kata “pelit” terlalu sensitif). Terakhir, seorang janda cantik yang hidup sendiri, Pretty namanya. Akibat kecantikannya, ia selalu menjadi incaran para suami hingga membuat para istri tak kuasa menjadikan Pretty sebagai bahan gosip. Terlepas dari pergumulan perbedaan yang membingkai kehidupan mereka, menjulang kesamaan dari 4 keluarga yaitu ISTI (Ikatan Suami Takut Istri).
Menariknya, di luar cluster terdapat keluarga Dadang yang hidup poligami (3 istri) dengan 3 anak. Dadang yang diangkat menjadi satpam di cluster tersebut seringkali meramaikan jagat cerita kehidupan di cluster. Timbul asosiasi bahwa Dadang terlalu komersil dan sering meminjam uang hingga keluarga-keluarga di cluster sering gerah dibuatnya.
Lewat setting beragam budaya yang terasa merakyat inilah Suami-Suami Takut Istri mampu membawa hawa baru di jagad sinetron Indonesia. Di sini penonton diajak melihat miniatur Indonesia yang kaya keberagaman adat dan budaya. Meski kadang logika gender yang ditampilkan sedikit berlebihan dan sangat jarang dapat dijumpai dalam kehidupan nyata khalayak Indonesia yang masih sangat kental dengan budaya patriarki.
B. Perumusan Masalah
Di tengah maraknya sinetron-sinetron yang mematuhi pakem dengan menjadikan Jakarta (lengkap dengan budaya Betawi dan smbol-simbol budayanya) sebagai latar cerita, sinetron bergenre komedi situasi Suami-Suami Takut Istri mencoba menempuh jalan berbeda. Sinetron komedi situasi yang tayang setiap petang di layer Trans TV ini mencoba menghadirkan satu suasana beda dengan menggabungkan beberapa budaya yang berbeda (lengkap dengan simbol-simbol budayanya) sebagai setting cerita. Hasilnya, cukup menghibur, terutama didukung tema yang cukup jamak di masyarakat yaitu fenomena suami yang takut kepada istrinya.
Meski mampu menghadirkan sedikit dari ragam budaya yang tumbuh di Indonesia sebagai setting cerita yang terbukti mampu menggeser dominasi Jakartasentris yang dihembuskan sinetron-sinetron seragam itu, namun yang kemudian perlu dicermati di sini adalah apa yang sebenarnya ingin direpresentasikan lewat simbol-simbol budaya yang muncul dan mewujud sebagai satu kebenaran yang coba dikonstruksikan Trans TV. Di sana muncul cukup banyak simbol budaya yang diwakili oleh setting lokasi, logat bicara, perwatakan, hingga make up dan dressing, yang tentu berusaha merepresentasikan satu yang sudah direncanakan di awal produksi. Inilah yang mustinya dapat dimaknai lebih ketimbang hanya memandangnya sebagai satu hiburan semata.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengungkap apa yang sebenarnya coba direpresentasikan lewat simbol budaya yang dimunculkan dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri.

D. Kerangka Teori
Televisi dan Sinetron
Komunikasi massa sebagai satu cabang ilmu komunikasi lebih menitikberatkan pada proses pembentukan dan penyampaian pesan lewat media. “Mass communication is the process whereby media organizations produce and transmit message to large publics and the process by which those message are sought, used, understand and influenced by audiences (Littlejohn, 2005:273).
Sementara Gerbner (dalam Rakhmat, 2005:188) memberi pengertian komunikasi massa dengan sebuah definisi singkat yaitu sebagai produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan serta paling luas dipunyai orang dalam masyarakat industri.
Menurut teori norma budaya yang dikemukakan De Fleur, media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-tema tertentu menciptakan kesan-kesan pada khalayak dimana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu diberi dengan cara tertentu (Effendi, 1993:279).
Dalam komunikasi massa dikenal beberapa bentuk media, seperti media cetak dan elektronik. Media cetak meliputi surat kabar, majalah, dan tabloid. Sementara ada televisi, radio (dan internet, yang oleh beberapa kalangan mulai digolongkan sebagai media elektronik). Fungsi media massa, termasuk televisi tentunya, menurut Harold D Laswell (dalam Littlejohn, 2005:279) ada tiga, yaitu:
a. The surveillance of the environment, yang berkaitan dengan kemampuan media massa sebagai pengamat lingkungan dan memberikan informasi tentang lingkungan di sekitar kita.
b. The correlation of the parts of society in responding to the environment, berupa fungsinya dalam melakukan seleksi, evaluasi, dan interpretasi dari informasi.
c. The transmission of the social heritage from one generation to the next, yaitu media massa sebagai sarana penyampaian informasi yang juga dimaksudkan sebagai fungsi edukasi.
Di samping ketiga fungsi media massa yang disampaikan Laswell ini, Charles R’Wright memberi satu fungsi tambahan bagi media massa, yaitu fungsi hiburan.
‘Comunicative acts primarily intended for amusement irrespective of any instrumental effects they might have’.
Sementara ini, televisi boleh dibilang menjadi primadona media. Televisi menjadi media yang paling sering dilihat, dikonsumsi, ketimbang bentuk-bentuk media lain. Kemudahan akses televisi mungkin yang menjadi alasan mengapa ia lebih banyak dikonsumsi publik. Publik hanya diminta meluangkan sedikit waktu untuk menikmatinya. Ini juga yang membuat penonton televisi sangat tidak terbatas, apalagi dari segi usia. Hampir segala usia menonton televisi, mulai dari balita yang ditemani pengasuh atau orang tuanya, anak-anak, remaja, hingga dewasa bahkan manula.
Menurut Gerbner (dalam Littlejohn, 2005: 288-289), televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia.
’Television is a part and parcel of our daily lives. Its dramas, commercials, news, and other programs bring a relatively coherent world of common images and messages into every home. Television cultivates from infancy the very predispositions and preferences that used to be acquired from other primary source. The repetitive pattern of television’s mass-produced messages and images form the mainstream of a common symbolic environment’.
Sinema elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron adalah
sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Di Indonesia, istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono (Salah Satu Pendiri dan Mantan Pengajar Institut Kesenian Jakarta) . Sumber ini didapatkan dari hasil wawancara dengan Teguh Karya. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera, sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela.
Jalan cerita sinetron pada umumnya berkisah tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai dengan konflik. Seperti layaknya
drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter khas masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario.
Tujuan komersial dibuatnya sinetron menjadi berpuluh-puluh episode kebanyakan karena tujuan komersial semata-mata sehingga dikhawatirkan menurunkan kualitas cerita yang akhirnya membuat sinetron menjadi tidak lagi mendidik tetapi hanya menyajikan hal-hal yang bersifat menghibur. Hal ini banyak terjadi di Indonesia yang pada umumnya bercerita seputar kehidupan remaja dengan intrik-intrik cinta segi tiga, kehidupan keluarga yang penuh dengan kekerasan, dan tema yang akhir-akhir ini sangat digemari yaitu tentang kehidupan alam gaib (Wikipedia, 2007).
Tanda, Simbol, Makna
Tanda di dalam konteks penelitian semiotik dimaknai sebagai “apa saja yang bisa menghasilkan makna.” Karena dalam semiotik dipelajari bagaimana berbagai tanda seperti foto, lukisan, suara, audio visual, dan juga tulisan menghasilkan makna.
Stuart Hall (1997) berargumen, karena semua obyek budaya menghasilkan makna, dan semua kegiatan/praktik budaya bergantung pada makna, maka tanda-tanda di dalam obyek/praktik budaya tersebut bisa dianalisis dengan pendekatan konsep lingusitik yang dikemukakan oleh Saussure.
Sementara Barthes adalah salah satu teoritisi yang menggunakan pendekatan semiotik untuk mengganalis budaya populer. Barthes memberlakukan aktifitas-aktifitas di dalam budaya populer (pertunjukan gulat, wajah Greta Garbo, foto pada cover majalah dan sebagainya) sebagai tanda atau bahasa, tempat dimana makna dikomunikasikan.
Tanda, menurut Saussure dipahami sebagai suatu konsep penting di dalam penelitian semiotik tanda itu terbangun dari dua bagian; signifier dan signified. Signifier merupakan bentuk fisik dari tanda yang kita terima dengan indera kita dan signified adalah tataran konsep mental dari tanda tersebut.
Sedangkan teks dalam analisis semiotik dimaknai sebagai jaringan dari tanda yang bekerja pada berbagai level. Teks bisa menghasilkan variasi makna tergantung latar belakang atau pengalaman sosial budaya dari intepreter/reader. Pada analisis semiotik fokus perhatiannya adalah sistem tanda yang membuat sebuah teks.
Selain tanda dan teks beberapa ahli semiotika mengungkapkan beberapa istilah yang spesifik. Konsep-konsep spesifik tersebut memberi ciri khas pada beberapa model pendekatan semiotik. Berikut ini adalah konsep-konsep yang terdapat di dalam analisis semiotik dari Saussure:
Parole, tindakan dimana tanda digunakan, seperti tuturan ketika berbicara, novel, percakapan.
Langue, sistem yang memungkinkan parol bisa diproduksi: Selection and Combination.
Sintagmatik, hubungan aktual di dalam proses signifikasi. Atau sekumpulan tanda yang dikombinasikan sesuai aturan tertentu. Hubungan ini menunjukkan hubungan suatu tanda dengan tanda-tanda lainnya, baik yang mendahuluinya atau mengikutinya (Sunardi, 2002). Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk mengimajinasikan ke depan atau memprediksi apa yang terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab-akibat. Dalam kaitannya dengan produksi makna (penciptaan signified), kesadaran sintagmatik mengandaikan bahwa signified suatu tanda tergantung juga pada hubungan logis dan kasualitas. Serial drama di TV misalnya, juga mengandalkan imajinasi sintagmatik. Imajinasi bisa berjalan sejauh penonton dipancing untuk menantikan jalan cerita yang belum selesai (Sunardi, 2002).
Paradigmatik, suatu set tanda yang salah satunya mungkin dipilih untuk digabungkan dengan tanda-tanda yang lain. Pemilihan tersebut ditentukan oleh context dan topik. Tanda-tanda bisa berhubungan secara paradigmatik ketika mereka berada pada satu system atau kelas. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan dengan tanda lain Sunardi (2002).
‘Pesan’ dari televisi bukanlah gambar-gambar yang tampak, tetapi cara-cara baru dalam berhubungan, dan persepsi yang ia paksakan, perubahan struktur tradisional keluarga dan kelompok (Baudrillard, 2006: 154)
Ideologi, juga Mitos
Barthes mengembangkan pendekatan analisis semiotik dari Saussure dengan memasukkan ideologi ke dalam analisisnya. Barthes sependapat dengan Althuser yang menyatakan bahwa ideologi menjadi tempat dimana individu mengalami subjektivitasnya (penundukannya) (Sunardi, 2002: 123-125). Menurut Althusser ideologi yang menginterpelasi individu sebagai subjek. Teks yang memiliki muatan ideologi, melakukan pemanggilan pada pembacanya (healling) begitu individu terpanggil dia terintepelasi dan sekaligus tertundukkan (subjeksi) sehingga individu melakukan atau berpikir sesuai hegemoni yang dilakukan oleh teks (Althusser, 1984: 44-45). Jadi ideologi bisa juga berarti sebagai ide-ide sistematik yang diartikulasikan oleh sekelompok orang tertentu atau dengan kata lain merupakan sebuah topeng dari pengeksloitasian kelas yang dominan. Ideologi terdapat di dalam teks (tayangan tv, lagu-lagu pop, film, novel) karena teks tersebut merepresentasikan cara pandang tertentu mengenai realitas.
Konsep ideologi di dalam analisis semiotik terkait dengan konsep representasi yang merupakan proses untuk menempatkan konsep ideologi ke dalam bentuk yang kongkrit, karenanya kita dapat melihat representasi dari perempuan, keluarga, cinta dan sebagainya di media massa.
Televisi memang tampak seolah ‘realistik’ karena ia penyuntingannya yang halus dan potongan-potongannya yang tidak kentara, tapi realisme ini dibentuk oleh sekumpulan konvensi estetis, dan bukan refleksi ‘dunia nyata’(Antariksa, www.kunci.or.id). Dengan kata lain ketika teks melakukan representasi tentang sesuatu, teks tersebut menaturalisasikan suatu perpektif tertentu tentang realitas. Secara konseptual naturalisasi merupakan proses yang berusaha untuk menampilan sesuatu yang sebenarnya dibentuk secara sosial dan budaya seolah-olah natural: tidak terhindarkan, universal dan tidak tebantahkan.
Konsep-konsep dasar di dalam analisis semiotik Roland Barthes:
Denotation: hubungan yang simpel atau literal antara tanda dan referennya.
Connotation: makna yang melibatkan pengalaman atau subjektivitas kita sebagai pemakai.
Myth: naturalisasi dari hal yang merupakan konvensi sosial atau budaya
Ideology: merupakan upaya untuk membuat hal yang sebenarnya fakta yang sifatnya partial menjadi seolah-olah universal (hubungan kuasa)
Berikut ini adalah model analisis semiotik Barthes berdasarkan konsep-konsep di atas:

I. Signifier
II. Signified
I. Signifier (Denotation)
II. Signified
(Connotation)
III. Myth (Ideology)
Langkah-langkah penelitian semiotic Barthes:
1. Identifikasi teks: Sebisa mungkin untuk menyertakan copy dari teks yang diteliti. Jika menyertakan teks tidak memungkinkan, memberikan deskripsi yang jelas sehingga memungkinkan pembaca dengan mudah akan mengenali teks yang diteliti jika mereka menemui teks tersebut. Secara singkat deskripsikan media yang digunakan, aliran (genre) dari teks dan konteks dari tanda tersebut.
2. Pertimbangkan tujuan dari analisis teks: kenapa teks itu dipilih, tujuan anda mungkin merefleksikan nilai/posisi yang anda miliki.
3. Melakukan analisis semiotik tingkat pertama. Apa yang kita lihat, dengar dan baca adalah sistem semiotik tingkat pertama (denotasi). Hubungan antara signifier dan signified cukup jelas, tidak disembunyikan.
4. Melakukan analisis semiotik tingkat kedua (konotatif). Signifiednya adalah mencari mitos. Mencari pembalikan kultural seperti apa yang dilakukan oleh teks sehingga memunculkan sesuatu yang sebenarnya konsepsi kultural menjadi seolah-olah natural. Analisis mitos dilakukan dengan mendeformasi makna. Barthes menyebut mitos sebagai bahasa curian atau bahasa yang mengambi alih (myth as stolen language). Lebih jauh, Barthes menyatakan bahwa setiap makna dari sistem linguistik selalu terancam menajadi mangsa sistem semiotik tingkat kedua.
5. Setelah kita menemukan makna konotatif yang di dalamnya terdapat mitos. Pembongkaran ideologi dilakukan dengan melihat siapa yang dipanggil (healling) untuk ditundukkan (subjeksi). Preferred reading (pembacaan dominan) apa yang digunakan untuk melakukan penundudukan.
Representasi atau Stereotyping
Dalam arti luas, semua komunikasi mengkonstruksi representasi. Representasi dalam teks media, menurut Fairlough (dalam Burton, 2007:285) boleh dikata berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu mereproduksi hubungan sosial berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi.
Adalah keliru ketika kita coba mengasumsikan bahwa representasi sama dengan stereotip. Bagaimana pun juga strereotipe pada dasarnya dibedakan menurut derajat intensitas dan aksesibilitas kultural, sehingga materi genre penuh dengan para karakter cadangan yang akrab melalui pengulangan namun dicirikan kurang lebih secara jelas dalam karakteristiknya. Stereotip ada pada level intensitas lain, dengan repertoir karakteristik yang lebih akrab dan beragam (Burton, 2007:286).

E. Signifikansi Penelitian
1. Signifikansi Teoritis
Secara akademis, diharapkan penelitian ini dapat memberi satu variasi dalam penelitian di bidang komunikasi, menarik minat para akademisi dan masyarakat umum untuk mencermati dunia persinetronan Indonesia, serta memberi kontribusi bagi penelitian lain yang mengambil obyek serupa.
2. Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu mengajak penonton setia sinetron SSTI dan penonton sinetron pada umumnya untuk melihat lebih dekat tayangan tersebut, sehingga tak hanya menerimanya sebagai satu bentuk hiburan semata namun juga coba menggali makna yang tersimpan di balik setiap adegan-adegannya.

F. Metodologi Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dimana data-data yang digunakan adalah data nonstatistik.
2. Pendekatan yang digunakan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotika. Semiotika berperan dalam setiap sistem tanda, apapun substansi dan batasannya; gambar, gerakan isyarat/bahasa tubuh/ gesture, suara, musik, objek, latar tempat dan gabungan dari hal-hal tersebut, yang membentuk suatu muatan ritual hiburan konvensional atau hiburan kontemporer.
3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
a). Jenis Data
Data yang digunakan terbagi dalam dua jenis, yaitu:
o Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan objek penelitian, berupa ikon-ikon dalam adegan-adegan sinetron Suami-Suami Takut Istri. Ikon-ikon ini dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu:
§ Ikon spasial : konstum, setting tempat
§ Ikon relasional : akting, dialog
§ Ikon metafora : alur cerita
o Data Sekunder
Data sekunder diperoleh lewat studi kepustakaan baik yang berupa teori maupun informasi.
b). Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan mengamati setiap adegan dalam episode-episode sinetron Suami-Suami Takut Istri. Sementara dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan berbagai informasi mengenai sinetron Suami-Suami Takut Istri dilengkapi dengan informasi yang berkaitan dengan sinetron bergenre komedi situasi semacam itu.
4. Teknik Analisis Data
Analisis dilakukan secara bertahap melalui pemisahan berdasarkan bentuk-bentuk ikon. Ikon spasial akan digunakan untuk melihat apakah terdapat kesamaan bentuk atau simbolik antara tanda-tanda budaya yang ditunjukkan dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri dengan tanda-tanda budaya dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian, ikon relasional dipilih untuk mengidentifikasi apakah ada hubungan struktural diantara kedua macam tanda tersebut. Dan terakhir, ikon metafora dipakai untuk melihat representasi apa yang sebenarnya ada di balik tanda-tanda budaya yang dipakai dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri tersebut.
5. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah beberapa episode dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri.

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Louis.1984.Ideology and Ideological State Aparatuses. London. Verso
Antariksa, Politik, Teori, Metode, dan Medan Minat Kajian Budaya,
www.kunci.or.id . 1 Desember 2006.
Barthes, Roland.1981. Elements of Semiology, Seventh ed. New York.Hill and Wang
Baudrillard, Jean. 2006. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta. Kreasi Wacana
Burton, Graeme.2007.Membincangkan Televisi.Sebuah Pengantar kepada Studi Televisi. Yogyakarta-Bandung.Jalasutra
Effendi, Onong Uchjana. 1993.Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung. PT Citra Aditya Bakti
Hall, Stuart.1997.Representation: Cultural Representations and Signifying Practice. London .Sage
Littlejohn, Stephen W. 1998. Theories of Human Communication 5th edition. Belmont: Wadworth Publishing Company
Rakhmat, Jalaluddin.2004.Psikologi Komunikasi.Bandung: Remaja Rosdakarya
Sunardi, ST.2002. Semiotika Negativa.Yogyakarta .Kanal

Internet:
http://www.transtv.co.id/200706/hotbox.asp?id=90
http://id.wikipedia.org/wiki/Sinetron
ps: muga2 masi bs di explore lg bt skripsi (hehehe..)
posted by ree at 11:01:00 PM

2 Comments:

ternyata gara-gara ngerjain ini ibu ini mampir ke blog saya

salam kenal deh bu...

hihihihi
:D

February 3, 2008 at 11:02 AM  

hehe..tw ajah. thx eniwe

February 3, 2008 at 7:47 PM  

Post a Comment

<< Home