just a box

Tuesday, January 29, 2008

akhirnya si gober pergi juga

ini adalah satu yang langsung ngloyor aja di benakku waktu liat soeharto masuk RSPP. seneng banget akhirnya bisa baca lagi tulisan jenius om seno (my most favorite writer!!) ini. gak tw knapa, kok aku rasanya 'membaca' kisah soeharto di sini. en know what, pagi ini ampir smua koran masang headline yg sama ttg kmatian si 'paman gober'. hekhekhek... such a dream comes true yak. coba baca de, yakin bagus banget!

Kematian Paman Gober

Kematian paman gober ditunggu-tunggu semua bebek. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal : apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang disana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah.
Begitu kayanya Paman Gober, sehingga ia tak bisa hafal lagi pabrik apa saja yang dimilikinya. Bila terlihat pabrik di depan matanya, ia hampir selalu berkata, “oh, aku lua, ternyata aku punya pabrik sepatu.” Kejadian semacam ini terulang di muka pabrik sandal, pabrik rokok, pabrik kapal,pabrik arloji, maupun pabrik tahu-tempe. Boleh dibilang, hampir tidak ada pabrik yang tidak dimiliki Paman Gober. Ibarat kata, uang dicetak hanya untuk mengalir ke gudang uang Paman Gober.
Meskipun kaya raya, anggota klub milyarder no.1, Paman Gober adalah bebek yang sangat pelit. Bahkan kepada keluarganya, Donal bebek, ia tidak pernah mewmberi bantuan, meski Donal telah bekerja sangat keras malah Donal ini, beserta keponakan-keponakannya Kwak, Kwik, dan Kwek, hamper selalu diperas tenaganya, dicuri gagasannya, dan hasilnya tidak pernah dibagi. Cendekiawan jenius Kota Bebek, Lang Ling Lung, yang dimuka rumahnya tertera papan nama Penemu, Bisa Ditunggu, pun hamper selalu diakalinya.
Sudah berkali-kali Gerombolan Siberat, tiga serangkai kelas kakap, menggarap gudang uang Paman Gober, namun keberuntungan selalu berada dipihak Paman Gober. Pman Gober tak terkalahkan, bahkan oleh Mimi Hitam, tukang tenung yang suka terbang naik sapu. Sudah beberapa kali Mimi Hitam berhasil merebut Keping Keberuntungan, jimat Pman Gober, namun keping uang logam kumuh itu selalu berhasil direbut kembali. Tidak bisa dipungkiri, Paman Gober memang pekerja keras. Masa mudanya habis dilorong-lorong gua emas. Sebuah gunung emas yang ditemukannya menjadi modal penting yang telah melambungkannya sebagai taipan tak tersaingi dari Kota Bebek.
Suatu hal yang menjadi keprihatinan Nenek Bebek, sesepuh Kota Bebek yang mengasingkan ke sebuah pertanian jauh di luar kota, addalah kenyataan bahwa Paman Gober dicintai kanak-kanak sedunia. Pman Gober menjadi legenda yang disukai. Pman Gober begitu rakus. Pman Gober begitu pelit. Tapi ia tidak dibenci. Setiap kali ada orang mengecam,menyaingi, pokoknya mengancam reputasi Paman Gober sebagai orang kaya, justru orang itu tidak mendapat simpati. Paman Gober bisa menangis tersedu-sedu meski hanya kehilangan uang satu sen. Ia sama sekalli bukan tokoh teladan, tapi mengapa ia bisa begitu dicintai?“Dunia sudah jungkir balik,” ujar Nenek Bebek kepada Gus Angsa, yang meski suka makan banyak, sangat malas bekerja. Namun Gus Angsa sudah tertidur sembari bermimpi makan roti apel.
“Suatu hari dia pasti mati,” ujar Kwik.
“Memang pasti, tapi kapan?” Kwak menyahut.
“Kwek!” Hanya itulah yang bisa dikatakan Kwek. Dasar bebek.
Begitulah, setiap hari, Lubas, anjing dirumah Donal, membawa Koran itu dari depan pintu ke ruang tengah.
“Belum mati juga!”
Donal segera membuang lagi Koran itu dengan kesal. Karena memang tiada lagi berita yang bisa dibaca di Koran. Banyak kabar, tapi bukan berita. Bnyak kalimat, tapi bukan informasi. Banyak huruf, tapi bukan pengetahuan. Koran-korantelah menjadi kertas, bukan media.
Semua bebek memang menunggu kematian Pman Gober. Itulah kabar terbaik yang mereka harapkan terbaca. Paman Gober sendiri sebenarnya sudah siap untuk mati. Maklumlah, sebagai generasi tua di Kota Bebek, umurnya cukup uzur. Untuk kuburanya sendiri, ia telah membeli sebuah bukit, damn membangun mausoleum di tempat itu. Jadi, bukanya Paman Gober tidak mau mati. Ia sudah siap untuk mati.
“Mestinya, bebek seumur sya ini, biasanya ya sudah tahu diri, siap masuk ke liang kubur. Makanya, ketika saya diminta menjadi Ketua Perkumpulan Unggas Kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya, sampai beberapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada bebek lain yang mampu menjadi ketua?”
Kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, Pergulatan Batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mangisahkan bagaimana Paman Gober memeburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan. Bab terakhir diberi judul Sampai Kapan Saya Berkuasa?. Memang, Paman Gober adalah ketua terlama Perkumpulan Unggas Kaya. Entah kenapa, ia selalu terpilih kembali, meski pemilihan selalu berlangsung seolah-olah demokratis. Begitu seringnya ia terpilih, sampai-sampai seperti tidak ada calon yang lain lagi.
“Terlalu, masak tidak ada bebek lain?”
Paman Gober selalu berbasa-basi. Namun, entah kenapa, kini bebek-bebek menjadi takut. Paman Gober, memang, terlalu berkuasa dan terl;alu kaya. Setiap hari yang dilakukannya adalah mandi uang. Ketika Donal Bebek bertanya dengan kritis, mengapa Paman Gober tidak pernah peduli kepada tetannga, bantuan keuangannya kepada Donal segera dihentikan.
“Kamu bebek tidak tahu diri, sudah dibantu, masih meleter pula.”
“Apakah saya tidak punya hak bicara?”
“Bisa, tapi janngan asal meleter, nanti kamu aku sembelih.”
“Aduh, kejam sekali, menyembelih bebek hanya dilakukan manusia.”
“Ah, siapa bilang bebek tidak kalah kejam dari manusia.”
“Lho, manusia makan bebek, apakah bebek makan manusia?”
“Yang jelas manusia bisa makan manusia.”
“Tapi Pman mau menyembelih sesame bebek, apakah sudah mau meniru sifat manusia?”
Paman Gober mempunyai banyak musuh, namun Paman Gober suka memelihara musuh-musuh yang tidak pernah bisa mengalahkannya itu, justru untuk menunjukkan kebesarannya. Paman Gober sering muncul di televise. Kalau Paman Gober sudah bicara, kamera tidak berani putus, meskipun kalimat-kalimatnya membuat bebek tertidur. Paman Gober selalu menganjurkan bebek bekerja keras, seperti dirinya, dan Paman Gober juga semakin sering menceritakan ulang jasa-jasanya kepada warga Kota Bebek.
“Coba, kalau aku tidak membangun jalan, air mancur, dan monument, apa jadinya Kota Bebek?”
Tidak ada yang berani melawan. Tidak ada yang berani bicara.
“Paman Gober,” kata Donal suatu hari, kenapa Paman tidak mengundurkan diri saja, pergi ke pertanian seperti Nenek, menyepi, dan merenungkan arti hidup? Sudah waktunya Pman tidak terlibat lagi dengan urusan duniawi.”
“Lho, aku mau saja Donal. Aku mau hidup jauh dari Kota Bebek ini. Memancing, main golf, makan sayur asem, dan membaca butir-butir falsafah hidup bangsa bebek. Tapi, apa mungkin aku menolak untuk dicalonkan? Apa mungkin aku menolak kehormatan yang segenap unggas? Terus terang, sebenarnya sih aku lebih suka mengurus peternakan.”
Maka hari-hari pun berlalu tanpa penggantian pimpinan. Demokrasi berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada atu pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan. Para pelajar seperti Kwik, Kwek, dan Kwak menjadi bingung bila membandingkannya dengan sejarah kepemimpinan kota lain. Kota Bebek seolah-olah memiliki pemimpin abadi. Generasi muda yang lahir setelah Paman Gober berkuasa bahkan sudah tidak mengerti lagi, apakah pemimpin itu memang bisa diganti. Mereka pikir keabadian Paman Gober sudah semestinya.
Dan itulah celakanya kanak-kanak mencintai Paman Gober. Riwayat hidup Paman Gober dibikin komik dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Bebek terkaya yang sangat pelit dan rakus ini menjadi teladan baru. Nenek Bebek tidak habis pikir, mengapa pendidikan, yang mestinya semakin canggih, membolehkan budi pekerti seperti itu. Generasi muda ingin meniru Paman Gober, menjadi bebek yang sekaya-kayanya, kalau bisa paling kaya di dunia.
“Paling kaya di dunia?” Kwak bertanya.
“ Iya, paling kaya di dunia,” jawab Nenek Bebek.
“Apakah itu hakikat hidup bebek?”
“Bukan, itu hakikat hidup Paman Gober.”
Sementara itu, nun di gudang uangnya yang sunyi, Paman Gober masih terus menghitung uangnya dari sen ke sen, tidak ditemani siapa-siapa. Matanya telah rabun. Bulunya sudah rontok. Sebetulnya ia sudah pikun, tapi ia bagai tak tergantikan.
Semua bebek menunggu kematian Paman Gober. Tiada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang ingin meraka ketahui hanya satu : apakah hari nin Paman Gober sudah mati. Seriap pagi mereka berharap akan membaca berita Kematian Paman Gober, dihalaman pertama.
Jakarta,16 Agustus 1994
posted by ree at 6:29:00 AM 1 comments

Thursday, January 24, 2008

check this out!!

hehehe...finally si empeka 'keparat' kualitatif kelar jugak. yaa.. meski kyakna g maksimal en klo aku punya waktu (juga kmauan yg cukup) pasti bakal bisa lbih baek lag. percaya. coba baca de klo lagi kurang kerjaan :)

Representasi Simbol Budaya
dalam Sinetron Suami-Suami Takut Istri

A. Latar Belakang
Sinetron Indonesia seolah hanya ‘jalan di tempat’. Sebagai satu tayangan yang di-anak emas-kan televisi dengan pemilihan waktu tayang di jam-jam prime time, nyatanya tak ada yang benar-benar baru di jagad persinetronan kita. Seolah terjebak di satu lubang hitam, para pekerja kreatif sinetron hanya berkutat di tema yang melulu sama. Jika tidak tentang perebutan hati (baca: cinta) tentu perebutan kekayaan. Setting yang dipilih pun melulu gemerlap dunia metropolis Jakarta. Toh mengusung tema ‘hambar’ semacam inipun penonton masih tetap setia, demikian dalih yang dilontarkan.
Kebetulan kebanyakan sinetron junk itu diproduksi oleh keluarga Punjabi. Kalau dari namanya, pasti tidak salah, mereka dari India. Makanya, semua sinetron junk itu pasti mirip film India. Lihat saja action artisnya. Kalau “terheran-heran”, “sinis”, “marah”, dan lain-lain, pasti diperlihatkan raut wajah artisnya dengan sangat dilebih-lebihkan. Belum lagi kalau diambil gambarnya jauh-dekat-jauh. Bukannya seru. Tapi lucu. Bukan hanya itu, kebanyakan yang dipertontonkan kehidupan kelas atas. Kadang- ada juga cerita masyarakat kelas bawah, tapi tetap saja mengikutsertakan kaum kelas atas. Pantas saja dikatakan kalau Punjabi yang dulu penjual lingerie itu disebut-sebut sebagai ‘Penjual Mimpi’. Yang dijual hanya mimpi-mimpi. Pemainnya pun pasti dipilih yang ganteng dan cantik. Itu sudah pasti, karena diakui sendiri oleh Punjabi. Walapun artisnya berakting sebagai pemulung, dia harus tampan atau cantik.
Satu yang mungkin luput dari perhatian klan Punjabi ini adalah keberagaman budaya di Indonesia. Seolah ia (lewat sinetron-sinetronnya) hanya tahu Jakarta saja. Maka tak perlu heran jika sinetron buatannya hanya berkutat dengan setting yang melulu Jakarta atau paling jauh sampai Bandung. Setting kota Jakarta semacam itu tentu mengimbas pada pengekalan satu macam budaya saja. Budaya Betawi lengkap dengan logat bicara ‘lu-gue’ bernada tinggi yang mungkin hanya konstruksi berlebihan dari budaya aslinya itu menjangkiti sinetron-sinetron kita seolah mengukuhkan kesan Jakartasentris.
Muncul mengisi kekosongan sinetron kaya budaya, Bajaj Bajuri menawarkan konsep komedi situasi dengan setting pertemuan budaya Betawi dan budaya Jawa (baca: Jawa Tengah). Meski di awal hanya ditanggapi dingin, ternyata justru Bajaj Bajuri mampu menghadirkan satu nuansa yang berbeda dengan ramuan ajaib bernama kesederhanaan. Bajaj Bajuri hadir begitu dekat dengan masyarakat kebanyakan. Keseharian yang dihadirkan di sana sudah sangat diakrabi khalayak. Meski hadir dengan format yang membumi, hingga demikian merasuk ke alam pikiran khalayak, toh pada akhirnya bernasib sama saja. Entah masalah apa yang melatarbelakanginya, kini Bajaj Bajuri sudah tak terdengar lagi gaungnya.
Namun tampaknya Trans TV belum kapok menghadirkan sinetron-sinetron ‘baru’. Baru-baru ini hadir sinetron bergenre komedi situasi berjudul Suami-Suami Takut Istri. Seolah mengobati kerinduan khalayak akan sinetron yang merakyat, Suami-Suami Takut Istri juga mengambil setting perbauran bermacam budaya.
Sinetron komedi situasi ini digarap oleh Rumah Produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Program ini tayang setiap Senin hingga Jumat, pukul 18.00 WIB, sejak 15 Oktober 2007. Komedi situasi yang memberikan hiburan yang bermutu dan merakyat ini diperankan oleh Otis Pamutih sebagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah sebagai Sarmila (Bu RT), Marissa sebagai Sarmilila, Irvan Penyok sebagai Karyo, Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djaitov sebagai Tigor, Asri Pramawati sebagai Welas, Ramdan Setia sebagai Faisal, Melvy Noviza sebagai Deswita, Epy Kusnandar sebagai Mang Dadang, Desi Novitasari sebagai Pretty, Ady Irwandi sebagai Garry (TransTV.co.id, 2007)
Suami-suami Takut Istri mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan ‘senasib sepenanggungan’ ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.
Yang menarik di sinetron komedi situasi ini adalah alur dan setting cerita yang dengan apik mempersatukan sejumlah budaya dalam satu cluster pemukiman. Di sanalah bermunculan simbol-simbol beragam budaya.
Lika-liku kehidupan masyarakat Indonesia yang memang sangat menarik lengkap dengan beragam budayanya itu diangkat dalam komedi situasi Suami-suami takut Istri. Sinetron ini mengangkat kehidupan keseharian masyarakat yang bergumul dalam hiruk-pikuk kehidupan cluster. Tipologi cluster yang seringkali hanya terdiri dari beberapa rumah benar-benar dimaksimalkan sebagai bingkai dari realitas plural masyarakat Indonesia.
Di cluster tersebut ada 4 keluarga, pertama, Pak RT yang hidup dengan Istri dan satu orang anaknya bernama Lila, keluarga ini sebagai representasi keluarga Betawi. Kedua, Tigor dan Welas. Tigor seorang Batak sedangkan Welas sedikit Jawa. Ketiga, Karyo dan Sella. Keempat, Faisal dan Deswita. Keluarga ini paling jelas deskripsinya yaitu sebagai orang Padang lengkap dengan asosiasinya, irit (kalau kata “pelit” terlalu sensitif). Terakhir, seorang janda cantik yang hidup sendiri, Pretty namanya. Akibat kecantikannya, ia selalu menjadi incaran para suami hingga membuat para istri tak kuasa menjadikan Pretty sebagai bahan gosip. Terlepas dari pergumulan perbedaan yang membingkai kehidupan mereka, menjulang kesamaan dari 4 keluarga yaitu ISTI (Ikatan Suami Takut Istri).
Menariknya, di luar cluster terdapat keluarga Dadang yang hidup poligami (3 istri) dengan 3 anak. Dadang yang diangkat menjadi satpam di cluster tersebut seringkali meramaikan jagat cerita kehidupan di cluster. Timbul asosiasi bahwa Dadang terlalu komersil dan sering meminjam uang hingga keluarga-keluarga di cluster sering gerah dibuatnya.
Lewat setting beragam budaya yang terasa merakyat inilah Suami-Suami Takut Istri mampu membawa hawa baru di jagad sinetron Indonesia. Di sini penonton diajak melihat miniatur Indonesia yang kaya keberagaman adat dan budaya. Meski kadang logika gender yang ditampilkan sedikit berlebihan dan sangat jarang dapat dijumpai dalam kehidupan nyata khalayak Indonesia yang masih sangat kental dengan budaya patriarki.
B. Perumusan Masalah
Di tengah maraknya sinetron-sinetron yang mematuhi pakem dengan menjadikan Jakarta (lengkap dengan budaya Betawi dan smbol-simbol budayanya) sebagai latar cerita, sinetron bergenre komedi situasi Suami-Suami Takut Istri mencoba menempuh jalan berbeda. Sinetron komedi situasi yang tayang setiap petang di layer Trans TV ini mencoba menghadirkan satu suasana beda dengan menggabungkan beberapa budaya yang berbeda (lengkap dengan simbol-simbol budayanya) sebagai setting cerita. Hasilnya, cukup menghibur, terutama didukung tema yang cukup jamak di masyarakat yaitu fenomena suami yang takut kepada istrinya.
Meski mampu menghadirkan sedikit dari ragam budaya yang tumbuh di Indonesia sebagai setting cerita yang terbukti mampu menggeser dominasi Jakartasentris yang dihembuskan sinetron-sinetron seragam itu, namun yang kemudian perlu dicermati di sini adalah apa yang sebenarnya ingin direpresentasikan lewat simbol-simbol budaya yang muncul dan mewujud sebagai satu kebenaran yang coba dikonstruksikan Trans TV. Di sana muncul cukup banyak simbol budaya yang diwakili oleh setting lokasi, logat bicara, perwatakan, hingga make up dan dressing, yang tentu berusaha merepresentasikan satu yang sudah direncanakan di awal produksi. Inilah yang mustinya dapat dimaknai lebih ketimbang hanya memandangnya sebagai satu hiburan semata.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengungkap apa yang sebenarnya coba direpresentasikan lewat simbol budaya yang dimunculkan dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri.

D. Kerangka Teori
Televisi dan Sinetron
Komunikasi massa sebagai satu cabang ilmu komunikasi lebih menitikberatkan pada proses pembentukan dan penyampaian pesan lewat media. “Mass communication is the process whereby media organizations produce and transmit message to large publics and the process by which those message are sought, used, understand and influenced by audiences (Littlejohn, 2005:273).
Sementara Gerbner (dalam Rakhmat, 2005:188) memberi pengertian komunikasi massa dengan sebuah definisi singkat yaitu sebagai produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan serta paling luas dipunyai orang dalam masyarakat industri.
Menurut teori norma budaya yang dikemukakan De Fleur, media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-tema tertentu menciptakan kesan-kesan pada khalayak dimana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu diberi dengan cara tertentu (Effendi, 1993:279).
Dalam komunikasi massa dikenal beberapa bentuk media, seperti media cetak dan elektronik. Media cetak meliputi surat kabar, majalah, dan tabloid. Sementara ada televisi, radio (dan internet, yang oleh beberapa kalangan mulai digolongkan sebagai media elektronik). Fungsi media massa, termasuk televisi tentunya, menurut Harold D Laswell (dalam Littlejohn, 2005:279) ada tiga, yaitu:
a. The surveillance of the environment, yang berkaitan dengan kemampuan media massa sebagai pengamat lingkungan dan memberikan informasi tentang lingkungan di sekitar kita.
b. The correlation of the parts of society in responding to the environment, berupa fungsinya dalam melakukan seleksi, evaluasi, dan interpretasi dari informasi.
c. The transmission of the social heritage from one generation to the next, yaitu media massa sebagai sarana penyampaian informasi yang juga dimaksudkan sebagai fungsi edukasi.
Di samping ketiga fungsi media massa yang disampaikan Laswell ini, Charles R’Wright memberi satu fungsi tambahan bagi media massa, yaitu fungsi hiburan.
‘Comunicative acts primarily intended for amusement irrespective of any instrumental effects they might have’.
Sementara ini, televisi boleh dibilang menjadi primadona media. Televisi menjadi media yang paling sering dilihat, dikonsumsi, ketimbang bentuk-bentuk media lain. Kemudahan akses televisi mungkin yang menjadi alasan mengapa ia lebih banyak dikonsumsi publik. Publik hanya diminta meluangkan sedikit waktu untuk menikmatinya. Ini juga yang membuat penonton televisi sangat tidak terbatas, apalagi dari segi usia. Hampir segala usia menonton televisi, mulai dari balita yang ditemani pengasuh atau orang tuanya, anak-anak, remaja, hingga dewasa bahkan manula.
Menurut Gerbner (dalam Littlejohn, 2005: 288-289), televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia.
’Television is a part and parcel of our daily lives. Its dramas, commercials, news, and other programs bring a relatively coherent world of common images and messages into every home. Television cultivates from infancy the very predispositions and preferences that used to be acquired from other primary source. The repetitive pattern of television’s mass-produced messages and images form the mainstream of a common symbolic environment’.
Sinema elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron adalah
sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Di Indonesia, istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono (Salah Satu Pendiri dan Mantan Pengajar Institut Kesenian Jakarta) . Sumber ini didapatkan dari hasil wawancara dengan Teguh Karya. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera, sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela.
Jalan cerita sinetron pada umumnya berkisah tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai dengan konflik. Seperti layaknya
drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter khas masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario.
Tujuan komersial dibuatnya sinetron menjadi berpuluh-puluh episode kebanyakan karena tujuan komersial semata-mata sehingga dikhawatirkan menurunkan kualitas cerita yang akhirnya membuat sinetron menjadi tidak lagi mendidik tetapi hanya menyajikan hal-hal yang bersifat menghibur. Hal ini banyak terjadi di Indonesia yang pada umumnya bercerita seputar kehidupan remaja dengan intrik-intrik cinta segi tiga, kehidupan keluarga yang penuh dengan kekerasan, dan tema yang akhir-akhir ini sangat digemari yaitu tentang kehidupan alam gaib (Wikipedia, 2007).
Tanda, Simbol, Makna
Tanda di dalam konteks penelitian semiotik dimaknai sebagai “apa saja yang bisa menghasilkan makna.” Karena dalam semiotik dipelajari bagaimana berbagai tanda seperti foto, lukisan, suara, audio visual, dan juga tulisan menghasilkan makna.
Stuart Hall (1997) berargumen, karena semua obyek budaya menghasilkan makna, dan semua kegiatan/praktik budaya bergantung pada makna, maka tanda-tanda di dalam obyek/praktik budaya tersebut bisa dianalisis dengan pendekatan konsep lingusitik yang dikemukakan oleh Saussure.
Sementara Barthes adalah salah satu teoritisi yang menggunakan pendekatan semiotik untuk mengganalis budaya populer. Barthes memberlakukan aktifitas-aktifitas di dalam budaya populer (pertunjukan gulat, wajah Greta Garbo, foto pada cover majalah dan sebagainya) sebagai tanda atau bahasa, tempat dimana makna dikomunikasikan.
Tanda, menurut Saussure dipahami sebagai suatu konsep penting di dalam penelitian semiotik tanda itu terbangun dari dua bagian; signifier dan signified. Signifier merupakan bentuk fisik dari tanda yang kita terima dengan indera kita dan signified adalah tataran konsep mental dari tanda tersebut.
Sedangkan teks dalam analisis semiotik dimaknai sebagai jaringan dari tanda yang bekerja pada berbagai level. Teks bisa menghasilkan variasi makna tergantung latar belakang atau pengalaman sosial budaya dari intepreter/reader. Pada analisis semiotik fokus perhatiannya adalah sistem tanda yang membuat sebuah teks.
Selain tanda dan teks beberapa ahli semiotika mengungkapkan beberapa istilah yang spesifik. Konsep-konsep spesifik tersebut memberi ciri khas pada beberapa model pendekatan semiotik. Berikut ini adalah konsep-konsep yang terdapat di dalam analisis semiotik dari Saussure:
Parole, tindakan dimana tanda digunakan, seperti tuturan ketika berbicara, novel, percakapan.
Langue, sistem yang memungkinkan parol bisa diproduksi: Selection and Combination.
Sintagmatik, hubungan aktual di dalam proses signifikasi. Atau sekumpulan tanda yang dikombinasikan sesuai aturan tertentu. Hubungan ini menunjukkan hubungan suatu tanda dengan tanda-tanda lainnya, baik yang mendahuluinya atau mengikutinya (Sunardi, 2002). Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk mengimajinasikan ke depan atau memprediksi apa yang terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab-akibat. Dalam kaitannya dengan produksi makna (penciptaan signified), kesadaran sintagmatik mengandaikan bahwa signified suatu tanda tergantung juga pada hubungan logis dan kasualitas. Serial drama di TV misalnya, juga mengandalkan imajinasi sintagmatik. Imajinasi bisa berjalan sejauh penonton dipancing untuk menantikan jalan cerita yang belum selesai (Sunardi, 2002).
Paradigmatik, suatu set tanda yang salah satunya mungkin dipilih untuk digabungkan dengan tanda-tanda yang lain. Pemilihan tersebut ditentukan oleh context dan topik. Tanda-tanda bisa berhubungan secara paradigmatik ketika mereka berada pada satu system atau kelas. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan dengan tanda lain Sunardi (2002).
‘Pesan’ dari televisi bukanlah gambar-gambar yang tampak, tetapi cara-cara baru dalam berhubungan, dan persepsi yang ia paksakan, perubahan struktur tradisional keluarga dan kelompok (Baudrillard, 2006: 154)
Ideologi, juga Mitos
Barthes mengembangkan pendekatan analisis semiotik dari Saussure dengan memasukkan ideologi ke dalam analisisnya. Barthes sependapat dengan Althuser yang menyatakan bahwa ideologi menjadi tempat dimana individu mengalami subjektivitasnya (penundukannya) (Sunardi, 2002: 123-125). Menurut Althusser ideologi yang menginterpelasi individu sebagai subjek. Teks yang memiliki muatan ideologi, melakukan pemanggilan pada pembacanya (healling) begitu individu terpanggil dia terintepelasi dan sekaligus tertundukkan (subjeksi) sehingga individu melakukan atau berpikir sesuai hegemoni yang dilakukan oleh teks (Althusser, 1984: 44-45). Jadi ideologi bisa juga berarti sebagai ide-ide sistematik yang diartikulasikan oleh sekelompok orang tertentu atau dengan kata lain merupakan sebuah topeng dari pengeksloitasian kelas yang dominan. Ideologi terdapat di dalam teks (tayangan tv, lagu-lagu pop, film, novel) karena teks tersebut merepresentasikan cara pandang tertentu mengenai realitas.
Konsep ideologi di dalam analisis semiotik terkait dengan konsep representasi yang merupakan proses untuk menempatkan konsep ideologi ke dalam bentuk yang kongkrit, karenanya kita dapat melihat representasi dari perempuan, keluarga, cinta dan sebagainya di media massa.
Televisi memang tampak seolah ‘realistik’ karena ia penyuntingannya yang halus dan potongan-potongannya yang tidak kentara, tapi realisme ini dibentuk oleh sekumpulan konvensi estetis, dan bukan refleksi ‘dunia nyata’(Antariksa, www.kunci.or.id). Dengan kata lain ketika teks melakukan representasi tentang sesuatu, teks tersebut menaturalisasikan suatu perpektif tertentu tentang realitas. Secara konseptual naturalisasi merupakan proses yang berusaha untuk menampilan sesuatu yang sebenarnya dibentuk secara sosial dan budaya seolah-olah natural: tidak terhindarkan, universal dan tidak tebantahkan.
Konsep-konsep dasar di dalam analisis semiotik Roland Barthes:
Denotation: hubungan yang simpel atau literal antara tanda dan referennya.
Connotation: makna yang melibatkan pengalaman atau subjektivitas kita sebagai pemakai.
Myth: naturalisasi dari hal yang merupakan konvensi sosial atau budaya
Ideology: merupakan upaya untuk membuat hal yang sebenarnya fakta yang sifatnya partial menjadi seolah-olah universal (hubungan kuasa)
Berikut ini adalah model analisis semiotik Barthes berdasarkan konsep-konsep di atas:

I. Signifier
II. Signified
I. Signifier (Denotation)
II. Signified
(Connotation)
III. Myth (Ideology)
Langkah-langkah penelitian semiotic Barthes:
1. Identifikasi teks: Sebisa mungkin untuk menyertakan copy dari teks yang diteliti. Jika menyertakan teks tidak memungkinkan, memberikan deskripsi yang jelas sehingga memungkinkan pembaca dengan mudah akan mengenali teks yang diteliti jika mereka menemui teks tersebut. Secara singkat deskripsikan media yang digunakan, aliran (genre) dari teks dan konteks dari tanda tersebut.
2. Pertimbangkan tujuan dari analisis teks: kenapa teks itu dipilih, tujuan anda mungkin merefleksikan nilai/posisi yang anda miliki.
3. Melakukan analisis semiotik tingkat pertama. Apa yang kita lihat, dengar dan baca adalah sistem semiotik tingkat pertama (denotasi). Hubungan antara signifier dan signified cukup jelas, tidak disembunyikan.
4. Melakukan analisis semiotik tingkat kedua (konotatif). Signifiednya adalah mencari mitos. Mencari pembalikan kultural seperti apa yang dilakukan oleh teks sehingga memunculkan sesuatu yang sebenarnya konsepsi kultural menjadi seolah-olah natural. Analisis mitos dilakukan dengan mendeformasi makna. Barthes menyebut mitos sebagai bahasa curian atau bahasa yang mengambi alih (myth as stolen language). Lebih jauh, Barthes menyatakan bahwa setiap makna dari sistem linguistik selalu terancam menajadi mangsa sistem semiotik tingkat kedua.
5. Setelah kita menemukan makna konotatif yang di dalamnya terdapat mitos. Pembongkaran ideologi dilakukan dengan melihat siapa yang dipanggil (healling) untuk ditundukkan (subjeksi). Preferred reading (pembacaan dominan) apa yang digunakan untuk melakukan penundudukan.
Representasi atau Stereotyping
Dalam arti luas, semua komunikasi mengkonstruksi representasi. Representasi dalam teks media, menurut Fairlough (dalam Burton, 2007:285) boleh dikata berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu mereproduksi hubungan sosial berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi.
Adalah keliru ketika kita coba mengasumsikan bahwa representasi sama dengan stereotip. Bagaimana pun juga strereotipe pada dasarnya dibedakan menurut derajat intensitas dan aksesibilitas kultural, sehingga materi genre penuh dengan para karakter cadangan yang akrab melalui pengulangan namun dicirikan kurang lebih secara jelas dalam karakteristiknya. Stereotip ada pada level intensitas lain, dengan repertoir karakteristik yang lebih akrab dan beragam (Burton, 2007:286).

E. Signifikansi Penelitian
1. Signifikansi Teoritis
Secara akademis, diharapkan penelitian ini dapat memberi satu variasi dalam penelitian di bidang komunikasi, menarik minat para akademisi dan masyarakat umum untuk mencermati dunia persinetronan Indonesia, serta memberi kontribusi bagi penelitian lain yang mengambil obyek serupa.
2. Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu mengajak penonton setia sinetron SSTI dan penonton sinetron pada umumnya untuk melihat lebih dekat tayangan tersebut, sehingga tak hanya menerimanya sebagai satu bentuk hiburan semata namun juga coba menggali makna yang tersimpan di balik setiap adegan-adegannya.

F. Metodologi Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dimana data-data yang digunakan adalah data nonstatistik.
2. Pendekatan yang digunakan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotika. Semiotika berperan dalam setiap sistem tanda, apapun substansi dan batasannya; gambar, gerakan isyarat/bahasa tubuh/ gesture, suara, musik, objek, latar tempat dan gabungan dari hal-hal tersebut, yang membentuk suatu muatan ritual hiburan konvensional atau hiburan kontemporer.
3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
a). Jenis Data
Data yang digunakan terbagi dalam dua jenis, yaitu:
o Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan objek penelitian, berupa ikon-ikon dalam adegan-adegan sinetron Suami-Suami Takut Istri. Ikon-ikon ini dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu:
§ Ikon spasial : konstum, setting tempat
§ Ikon relasional : akting, dialog
§ Ikon metafora : alur cerita
o Data Sekunder
Data sekunder diperoleh lewat studi kepustakaan baik yang berupa teori maupun informasi.
b). Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan mengamati setiap adegan dalam episode-episode sinetron Suami-Suami Takut Istri. Sementara dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan berbagai informasi mengenai sinetron Suami-Suami Takut Istri dilengkapi dengan informasi yang berkaitan dengan sinetron bergenre komedi situasi semacam itu.
4. Teknik Analisis Data
Analisis dilakukan secara bertahap melalui pemisahan berdasarkan bentuk-bentuk ikon. Ikon spasial akan digunakan untuk melihat apakah terdapat kesamaan bentuk atau simbolik antara tanda-tanda budaya yang ditunjukkan dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri dengan tanda-tanda budaya dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian, ikon relasional dipilih untuk mengidentifikasi apakah ada hubungan struktural diantara kedua macam tanda tersebut. Dan terakhir, ikon metafora dipakai untuk melihat representasi apa yang sebenarnya ada di balik tanda-tanda budaya yang dipakai dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri tersebut.
5. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah beberapa episode dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri.

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Louis.1984.Ideology and Ideological State Aparatuses. London. Verso
Antariksa, Politik, Teori, Metode, dan Medan Minat Kajian Budaya,
www.kunci.or.id . 1 Desember 2006.
Barthes, Roland.1981. Elements of Semiology, Seventh ed. New York.Hill and Wang
Baudrillard, Jean. 2006. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta. Kreasi Wacana
Burton, Graeme.2007.Membincangkan Televisi.Sebuah Pengantar kepada Studi Televisi. Yogyakarta-Bandung.Jalasutra
Effendi, Onong Uchjana. 1993.Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung. PT Citra Aditya Bakti
Hall, Stuart.1997.Representation: Cultural Representations and Signifying Practice. London .Sage
Littlejohn, Stephen W. 1998. Theories of Human Communication 5th edition. Belmont: Wadworth Publishing Company
Rakhmat, Jalaluddin.2004.Psikologi Komunikasi.Bandung: Remaja Rosdakarya
Sunardi, ST.2002. Semiotika Negativa.Yogyakarta .Kanal

Internet:
http://www.transtv.co.id/200706/hotbox.asp?id=90
http://id.wikipedia.org/wiki/Sinetron
ps: muga2 masi bs di explore lg bt skripsi (hehehe..)
posted by ree at 11:01:00 PM 2 comments

Tuesday, January 22, 2008

knapa yak, bawaannya bete aja ma orang yg satu itu. bete!bete!bete!!!
i just hate this person!!! dont ask me bout the reason. simply that i need no reason just to hate her!

ps: curhatan gila bocah yg lagi stres gara2 tugas blum kelar tp uda deadline :)
posted by ree at 12:29:00 PM

Monday, January 21, 2008

empeka kualitatif....

i've no idea, actually. hehe, uda kyak mati rasa aja. padahal besok malem jam 7 teng, tugas yg paling susah itu, si EMPEKA Kualitatif, kudu dikumpulin. uda bolak-balik ditolak pas konsul. uda gonta-ganti tema. bahkan uda berkali-kali nyusahin (ato nyengsarain) banyak orang yang aku tanya-tanyain gak jelas gtu. hihi. now, i nearly run of time!! masi aja bingung, linglung. gak bisa fokus. pernah satu kali pengen banget give up. ngerasa uda gak sanggup lagi, mpe pengen banget once in alive, u may call me irresponsible! biar aja mau dikumpulin sekarang ato nanti, aku gak bakalan ngerjain.
tapi, thanks God, masi ada my luvly friends yang rela ikut2an kelimpungan minjemin buku referensi mpe contoh2nya sgala. jadi deh, smangat bkin muncul lagi.
sampai juga aku di kesimpulan, bt nyoba bikin lagi. tinggal malem ini. i know i can.
posted by ree at 2:23:00 PM

Tuesday, January 15, 2008

pak harto??

uda basi banget kali, klo hare gene masi ceritain tentang sakitnya soeharto itu. uda banyak banget media yang ngeberitain masalah ini. (sinis bnget yak kdengerannya?)
iya. abisnya rakyat mana yg gak jengah ngeliat smua daya upaya tim medis berjuluk tim dokter kepresidenan di RSPP yg terkenal mahal itu, juga reka daya ampir smua media yg ngeberitain 'hal penting' itu.
mulai aja dari usaha tim dokter yg diketuai Dr. Mardjo itu. gak tau knapa, rasanya kok sgitunya banget. ketika ampir smua organ tubuh soeharto uda gak bisa berfungsi dengan baik, brita trakhir malah cuma otak ma pencernaan yg masih oke, kok ya masi aja ngotot masang alat2 mahal 'live support' itu. humm...bukannya itu smua malah cuma nyakitin soeharto aja, dok?
uda gitu, media. iiihhh..... media2 konvensional itu kok ya sgitu gencarnya ngangkat masalah ini.penting bgt yak? (hiyaiyalah). klo aku liat, di tipi trutama, ampir smuanya nyebut soeharto pake sapaan yg 'aneh'. ada yg blg Pak Harto (klo yg ini si kta tmen, karena itu uda kayak nama aja gtu, smacem Mbah Maridjan ato malah prof sus gtu kali. walo aku jg masi kpikiran trus ni, soalnya klo seingetku sih di jurnalistik gtu gak pake kata sapaan gtu, liat aja SBY kan juga gak dibilang Bapak Susilo blablabla... cuma susilo blablabla...kan?), yg paling bete denger di antv ma trans 7 yg nyebutnya pake 'bapak haji muhammad soeharto'. waduu.... jangan gila dong!! he just an ordinary man facing his death!! gak perlu sgitunya kali. biasanya aje dong.
yg lucu lagi, kadang jadi mikir, kok mreka (media2 itu) malah seolah nungguin detik2 kematian soeharto yak? ada yg interview ma tukang kembang (karangan bunga), hotel2 skitar astana giribangun, ma satpam giribangun. weleh..weleh..uda siap banget yak.
ni blum yg bikin brita ngawur, pake nyambung2in antara keluarga soekarno yg (kbetulan) lagi ada acara tumpengan gtu, ma kondisi soeharto yg lg kritis, apa coba hubungannya. wadduu... cape de...
yaa.. musti sabar ni ngliat media2 aneh itu. coba dong bkin brita yg lbih obyektif lagi, jangan mentang2 si smiling boy ini skaratul maut jdi gak brani ngangkat masalah kasus korupsinya, lbih ketimbang skedar nungguin konfrensi persnya tim dokter2 itu. (hehe tp di SM uda lumayan tu).
oke deh. klo kbanyaken kyakna malah aku jadi ikutan kyak media2 itu, hekhek...nyiarin brita gak penting.
posted by ree at 10:45:00 AM